Sejarah dan Asal Usul Pemberontakan DI/TII di Aceh

Diposting pada

Sejarah dan Asal Usul Pemberontakan DI/TII di Aceh – Terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak lahir dengan sendirinya.

Sejarah dan Asal Usul Pemberontakan DI/TII di Aceh
Sejarah dan Asal Usul Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sebelum menjadi sebuah negara yang merdeka seperti saat ini, Indonesia telah melewati peristiwa peristiwa yang bertumpahkan darah dan menelan jutaan korban jiwa.

Melalui perjuangan para pahlawan yang rela mengorbankan nyawanya demi Indonesia, maka terbentuklah Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka yang dapat menjalankan seluruh kegiatannya seperti saat ini.

Namun, setelah Indonesia merdeka masih banyak peristiwa-peristiwa lain yang juga mengakibatkan pertumpahan darah dan menelan korban jiwa.

Salah satu peristiwa besar yang tercatat oleh sejarah Indonesia adalah peristiwa pemberontakan DI/TII di Aceh.

Berawal dari adanya pernyataan proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia yang di deklarasikan oleh seorang pemimpin sipil, agama, dan militer yang berasal dari Aceh Daud Beureuh pada tanggal 20 September 1953.

Jasa Dau Beureuh dalam membantu Indonesia dalam melawan Agresi Militer 1 Belanda dengan semangat patriotisme masyarakat Aceh dan dibalut oleh semangat jihad fi sabillah berhasil membuat Belanda untuk membatalkan niatnya untuk melakukan penyerangan di Aceh.

Untuk menghargai peranan ulama Aceh tersebut maka pemerintah memberikan penghargaan kepada Daud Beureuh dengan menjadikannya sebagai Gubernur Militer Aceh.

Dengan posisinya tersebut, Daud Beureuh memanfaatkannya untuk menarik masyarakat untuk ikut bergabung dengannya membentuk Negara Islam.

Pengikutnya bukan hanya dari kalangan biasa melainkan dari kalangan pejabat-pejabat pemerintah Aceh yang turut membantunya dalam melakukan perlawanan dan berhasil menguasai sebagian besar daerah yang berada di Aceh.

Sebab utama dari terjadinya pemberontakan di Aceh tersebut disebabkan karena kekecewaan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat bahwa sampai bulan Maret 1950 belum menetapkan Aceh sebagai provinsi.

Kekecewaan bertambah saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Aceh dan memasukannya kembali menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara.

Para tokoh pimpinan Aceh merasa kecewa bahwa  perjuangannya dalam mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia dibalas dengan dileburnya Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara yang menempatkan ibu kotanya di Medan.

Para pimpinan Aceh merasa perjuangannya dalam mempertahankan negara dan juga wilayah Aceh diabaikan dan tidak dihargai.

Setelah dikeluarkannya peraturan tersebut suasana di Aceh menjadi tidak kondusif, terjadi kesenjangan sosial yang menimbulkan gesekan gesekan antara pemerintah pusat dengan masyarakat Aceh.

Puncaknya pada tanggal 20 September 1953 Daud Beureuh mengerahkan seluruh pasukannya untuk melakukan pemberontakan yang dinamakan Darul Islam (DI) dan Pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) untuk melakukan pemberontakan yang bertepatan pada persemian Pekan Olahraga Nasional (PON) ke III di Stadion Teladan, Medan yang diresmikan oleh Presiden Soekarno.

Dari kejadian itu, pemerintah pusat telah waspada dan berniat untuk mencari tau hubungan pergerakan yang dipimpin oleh Daud Beureuh dengan DI/TII pimpinan Sekarmaji di Jawa Tengah dengan mengirim seorang intel dari Kejaksaan Agung bernama Mustafa untuk tinggal selama beberapa bulan di Aceh dan menggali informasi dari para pimpinan Aceh.

Dari hasil penyelidikannya tersebut maka diketahuilah bahwa Daud Beureuh memang sedang merencanakan sesuatu untuk mempertahankan perinsipnya menjadikan Aceh sebagai provinsi yang menjalankan syariat Islam.

Jaksa Sunaryo dari Kejaksaan Agung memberikan peringatan kepaa para pimpinan tokoh Aceh bahwa tiga ratus pemimin Aceh akan ditangkap. Mendengar hal tersebut suasana menjadi semakin riuh.

Tokoh-tokoh Aceh menjadi ketakutan akan peringatan tersebut. Dari pemberitahuan itulah lalu muncul pemberontakan yang dikenal dengan sebutan pemberontakan DI/TII di Aceh.

Untuk mengatasi pemberontakan yang terjadi tersebut, diselengarakanlah musyawarah untuk merundingkan jalan keluar dari konflik horizontal yang terjadi itu.

Musyawarah tersebut berlangsung di Medan dengan mendatangkan seluruh organisasi masyarakat Aceh, tokoh-tokoh DI/TII, dan para petinggi militer dari pusat.

Mereka mengadakan pendekatan kepada panglima pemimpin DI/TII yang bernama Hasan Saleh untuk melakukan negosiasi.

Pertemuan tersebut membentuk Dewan Revolusi dengan mengambil alih kekuasaan Daud Beureuh.

Setelah perundingan tersebut selesai, Wakil Perdana Menteri Indonesia pada saat itu melancarkan sebuah misinya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Misi tersebut dinamakan Misi Hardi, hasil dari Misi Hardi melahirkan kesimpulan yang memberikan keistimewaan untuk daerah Aceh dalam tida bidang yaitu, bidang agama, bidang adat dan bidang pendidikan.

Keputusan tersebut lalu dibentuk di dalam sebuah peraturan Keputusan Perdana Menteri No.1/Missi/1959. Dengan lahirnya peraturan tersebut maka nama provinsi Aceh berubah menjadi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Baca Juga :

Pemberontakan DI/TII di Aceh bukan satu-satunya pemberontakan yang melibatkan pasukan tentara islam di Indonesia, beberapa daerah lain seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan juga pernah mengalami hal yang sama namun dengan latar belakang yang berbeda-beda tapi memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membentuk Negara Islam Indonesia.

Karena dasar negara Indonesia adalah pancasila maka pemerintah tidak dapat merubah negara indonesia menjadi negara islam yang hanya menjalankan syariat agama islam karena kemajemukan penduduk dari segi budaya dan agama yang membuat Indonesia menjadi negara plural.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *